Masya’ir adalah sebutan untuk hari-hari pada puncak ibadah haji yang meliputi ibadah wukuf di Arafah, mabit di Mudzalifah dan melontar jumrah di Mina.
Saya tulis mengenai masya’ir haji di postingan terpisah dengan Masjidil Haram dan Makkah Al Mukarromah agar dalam postingan tersebut tidak terlalu padat. Sumber informasi dari postingan yang saya tulis di sini sebagian besar diambil dari buku Sejarah Mekah, karangan Muhammad Ilyas Abdul Ghani. Dari sana saya mendapatkan banyak informasi penting mengenai keseluruhan Mekah. Sayangnya saya baru membacanya setelah saya selesai haji. Buku ini saya beli di Mekah, dan berbahasa Indonesia. Meski bukunya kecil tapi padat sekali.
Mina
Mina adalah suatu tempat yang digunakan jamaah haji untuk bermalam (mabit) selama puncak haji 9, 11, dan 12 Dzulhijjah. Mina terletak di antara Makkah dan Muzdalifah, sekitar 7 km dari Masjidil Haram. Dinamakan “Mina” sebab di sanalah tempat manusia berkumpul. Mina adalah tempat di mana Nabi Ibrahim AS melempar jumrah dan menyembelih domba (sebagai ganti anaknya Ismail).
“Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kalian akan dikumpulkan kepada-Nya.” (Al Baqarah: 203)
Tenda-tenda Mina hanya dipakai sekali setahun ketika musim haji. Tetapi meski begitu, pemerintah Arab Saudi terus berusaha meningkatkan pelayanan dan kenyamanan selama jamaah bermalam di Mina. Tenda Mina (katanya) anti api, bisa mengantisipasi jika terjadi kebakaran. Dibangun pula jalan-jalan, jembatan, penyediaan air bersih, toilet, tempat wudu, pengawasan keamanan di sana. Banyak juga petunjuk arah di sekitar Mina untuk mengetahui batas-batas Mina.
Di sekitaran tenda Mina, banyak orang berjualan. Saya tidak tahu apakah itu hanya kalau musim haji saja atau tidak. Dari yang menjual pakaian, kerudung, buah-buahan, makanan, dan lain sebagainya.
Jamarat di Mina
Pelemparan jumrah di Mina menandakan bentuk perlawanan dan permusuhan kita kepada setan. Ketika kita melempar tiang-tiang dalam jumrah, maksudnya adalah sebagai penghinaan kita pada setan. Namun tentunya jangan pakai esmosi dong melemparnya, sampai-sampai sendal jepit, botol, dan batu bata juga ikut di lempar, jangannn.. secukupnya saja, kerikil kecil pun cukup, kan simbolis saja.
Tiang jumrah adalah tanda tempat munculnya setan, yang lalu dilempar kerikil oleh Nabi Ibrahim AS. Hikmah melempar jumrah sebenarnya untuk mengingat Allah SWT, bukan hanya melempari setan.
Dari Ibnu Abbas radhiyallallahu’anhuma, beliau menisbatkan pernyataan ini kepada Nabi, “Ketika Ibrahim kekasih Allah melakukan ibadah haji, tiba-tiba Iblis menampakkan diri di hadapan beliau di jumrah’Aqobah. Lalu Ibrahim melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah . Iblis itu menampakkan dirinya kembali di jumrah yang kedua. Lalu Ibrahim melempari setan itu kembali dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah. Kemudian Iblis menampakkan dirinya kembali di jumrah ketiga. Lalu Ibrahim pun melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu masuk ke tanah“.
Muzadalifah
Tempat tersebut dinamakan Muzdalifah sebab jamaah mendatangi tempat tersebut pada permulaan malam atau tengah malam. Atau juga karena manusia meninggalkannya secara serentak. Bisa juga karena Nabi Adam AS dan Hawa pernah mendekat dan berkumpul di sana.
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” (Al Baqarah: 198).
Di Muzdalifah salat Maghrib dan Isya dijamak takhir di sana. Menjelang Subuh memperbanyak zikir sampai salat Subuh dan setelahnya. Lalu bertolaklah ke Mina untuk melakukan jumrah aqabah. Kerikil untuk jumrah boleh diambil di Muzdalifah atau di Mina.
Arafah
Arafah dinamakan demikaian karena Nabi Adam dan Jawa pernah bertemu dan saling mengenal kembali (ta’aruf dalam bahasa Arab, seakar dengan Arafah). Di sana pula Malaikat Jibril pernah mengajari Nabi Ibrahim AS tentang manasik haji. Ketika Jibril bertanya: “Sudah mengertikah engkau?”, Nabi Ibrahim AS menjawab dengan kalimat arraftu. Ibnu Abbas berpendapat bahwa Arafah dinamakan demikian sebab di sanalah manusia mengakui dosa-dosanya (ya’tarifun).
Arafah merupakan salah satu masy’ar di luar tanah suci, jaraknya 22 km dari Masjidil Haram. Di Arafah juga ada Jabal Rahmah.
Rasulullah bersabda, ‘al-hajju ‘arafah.Dari Abdurrahman bin Ya’mar al-Dili, ia berkata, “Saya menyaksikan Rasulullah SAW sedang wukuf di Arafah, lalu datang sekelompok orang dari Nejed dan bertanya, ‘Ya Rasulullah! Bagaimanakah haji itu?’ Maka, Rasulullah SAW menjawab, ‘Haji itu adalah Arafah (wukuf di Arafah) maka barang siapa yang datang sebelum shalat Subuh dari malam jama’ (malam Mudzdalifah yang mengumpulkan semua jamaah haji di sana) maka sempurnalah hajinya
Shafa dan Marwah
Shafa dan Marwah adalah bagian dari sa’i, yang biasanya dikerjakan setelah tawaf. Tadinya mau saya tuliskan di bagian Masjidil Haram. Sebab lokasinya lebih dekat ke sana, meski bukan bagian Masjidil Haram. Tapi postingan mengenai Masjidil Haram sudah cukup padat, saya tuangkan di sini saja gakpapa yaa…
Bukit Shafa adalah bukit kecil yag jaraknya hanya 130 meter dari Masjidil Haram. di sana banyak sekali peristiwa penting terjadi, di antarana: di sana Rasulullah SAW melakukan penyeruan pada orang-orang Quraisy, di sana pula tempat berkumpul setelah terjadi fathul Makkah. Selain itu, saat fathul Makkah, setelah Rasulullah tawaf, beliau menuju Shafa, melihat Ka’bah dari sana dan mengangkat tangan seraya berdoa. Sementara Bukit Marwah berada di arah sebaliknya dari Shafa dan merupakan tempat penghabisan sa’i.
Kedua bukit ini adalah tempat sa’i, yang merupakan simbol perjuangan Siti Hajar ketika ditinggal Nabi Ibrahim AS di dataran tandus Makkah. Siti Hajar turun dari bukit Shafa lalu menaiki bukit Marwah untuk melihat apakah ada seseorang yang bisa menolongnya dan Ismail, yang tengah kehausan dan kehabisan bahan makanan. Ternyata di Bukit Marwah ia tidak melihat apapun. Siti Hajar pun menuruni kembali Marwah menuju Shafa. Dilakukannya hal tersebut sebanyak tujuh kali. Maka dari itu, pada saat sa’i kita melakukan hal yang sama dengan Siti Hajar, sebagai hikmah kisah tersebut. Oiya, bagi laki-laki disunahkan untuk berlari kecil kerika melewari antara dua tanda lampu hijau.
Sekarang ini renovasi sudah banyak dilakukan untuk kedua bukit tersebut. Kedua bukit tersebut tidak terlihat lagi seperti tanjakan tinggi, hanya marmer rata yang dingin, hanya sedikit undakan yang menandai bahwa tempat tersebut adalah bukit Shafa dan Marwah. Tempat sa’i dibangun dua tingkat, dengan panjang kira-kira 394,5 meter. Untuk sa’i tempatnya tidak sepadat tempat tawaf. Jadi tidak usah khawatir berdesakkan.
—
Semoga bermanfaat.
Sumber:
(1) Ghani, Muhammad Ilyas Abdul, Sejarah Mekah, Madinah Al-Rasheed, 2003.
(1) Ghani, Muhammad Ilyas Abdul, Sejarah Mekah, Madinah Al-Rasheed, 2003.